Segala puji bagi Allah Rabb semesta
alam, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad
shalallahu alaihi wasallam, keluarga, para sahabat, dan pengikutnya yang
tetap istiqomah sampai hari kiamat.
Berbicara
tentang Syiah, tentunya kita sudah banyak mendengar tentang
aqidah-aqidah kaum Syiah, di antaranya adalah aqidah taqiyah. Akan
tetapi, banyak kaum Muslim yang mengira bahwa ajaran taqiyah itu mutlak
hanya milik kaum Syiah. Padahal sebenarnya di dalam Islam,
taqiyah memang ada syari'atnya sebagaimana yang termaktub jelas pada firman Allah ta'ala dan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Hanya saja, taqiyah yang dimiliki oleh kaum Syiah sangat jauh berbeda dengan taqiyah yang diajarkan di dalam Islam.
taqiyah memang ada syari'atnya sebagaimana yang termaktub jelas pada firman Allah ta'ala dan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Hanya saja, taqiyah yang dimiliki oleh kaum Syiah sangat jauh berbeda dengan taqiyah yang diajarkan di dalam Islam.
Untuk
memahami hakikat dan perbedaan antara taqiyah yang diajarkan oleh Islam
dan taqiyah ajaran Syiah, maka kita akan memahami tulisan Dr. Basim
Amir di bawah ini, yang membeberkan kebobrokan ajaran taqiyah Syiah
bersumber dari kitab-kitab panutan mereka.
Untuk
mengetahui hakikat taqiyah syar'iyah dan taqiyah Syiah, perlu diketahui
perbedaan antara keduanya. Yang dimaksud dengan taqiyah syar'iyah di
sini adalah taqiyah yang diajarkan dalam Islam yang sesuai dengan
Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta sejalan dengan kaidah-kaidah dan aturan
syari'at Islam. Sedangkan taqiyah Syiah, adalah taqiyah dengan
pengertian sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ulama-ulama mereka
dalam buku-buku induk yang mereka jadikan pondasi ajaran mereka.
Dasar utama yang menjadi landasan adanya taqiyah syar'iyah terdapat dalam firman Allah surat Al-Imron ayat 28. Allah berfirman,
لَا
يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ
وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
"Janganlah
orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mu'min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara
diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)."
Dalam
menafsirkan ayat di atas, Imam Al-Baghawi berkata, "Makna ayat ini,
bahwa Allah ta'ala melarang orang-orang beriman mengambil wali dan teman
dekat dari orang-orang kafir, kecuali jika orang kafir lebih dominan
dan lebih kuat, atau jika orang mukmin saat itu berada di tengah
kalangan orang kafir, maka pada saat itu orang mukmin boleh melakukan
tipu daya dengan perkataannya tetapi hatinya tetap beriman. Hal ini
dibolehkan untuk melindungi dirinya untuk melindungi harta, darah atau
rahasia kaum Muslim. Taqiyah seperti ini tidak dilakukan kecuali dalam
keadaan terpaksa takut akan dibunuh dan sejenisnya." (1)
Di antara perbedaan mendasar antara taqiyah syar'iyah dan taqiyah Syiah adalah sebagai berikut:
Perbedaan Pertama: Taqiyah syar'iyah merupakan masalah furu' (cabang) dalam agama, bukan masalah ushul (pokok).
Taqiyah
Syar'iyah: Dalam ajaran islam taqiyah syar'iyah ini bukan merupakan
masalah ushul yang tidak boleh ditinggalkan, tetapi merupakan masalah
furu' yang mana seorang muslim boleh tidak melaksanakannya.
Taqiyah
Syiah: Menurut mereka, taqiyah adalah ajaran yang bersifat ushul,
bahkan mereka menganggap orang yang tidak bertaqiyah sebagai orang yang
tidak mempunyai agama. Di dalam kitab mereka disebutkan, Imam Ja'far
As-Shadiq berkata, "Sesungguhnya sembilan dari sepuluh agama ada pada
taqiyah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak bertaqiyah." (2)
Mereka
juga menisbatkan kepada Ja'far As-Shadiq sebuah perkataannya, "Taqiyah
itu agamaku dan agama nenek moyangku, dan tidak ada keimanan bagi siapa
yang tidak bertaqiyah." (3) Dan juga perkataannya, "Seandainya engkau
mengatakan, 'Orang yang meniggalkan taqiyah kedudukannya seperti orang
yang meniggalkan sholat,' maka engkau adalah orang jujur." (4)
Dalam
kitab mereka juga disebutkan bahwa Imam Ali bin Musa Ar-Ridha (menurut
keyakinan mereka) berkata, "Tidak ada keimanan bagi yang tidak
bertaqiyah, dan orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang
yang paling sering bertaqiyah, " maka dikatakan kepadanya, "Wahai
keturunan Rasulullah, sampai kapan (keharusan taqiyah) itu? Dia berkata,
"Sampai waktu yang diketahui, yaitu keluarnya Qaim (Imam Mahdi) kita,
barang siapa yang meninggalkan taqiyah sebelum keluarnya Qaim kita, maka
bukan termasuk golongan kita." (5)
Perbedaan Kedua: Taqiyah sar'iyah hanya dilakukan kepada orang kafir, bukan kepada orang mukmin.
Taqiyah
syar'iyah: pada umumnya dilakukan oleh seseorang untuk menghadapi orang
kafir, sebagaimana firman Allah ta'ala di atas yang dengan jelas
menyebutkan hal itu, "Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barang siapa
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.
Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya
kepada Allah kembali (mu)." (Al-Imran: 28)
Konteks
ayat di atas adalah pembicaraan mengenai orang-orang kafir, Ibnu Jarir
berkata, "Taqiyah yang disebutkan Allah di ayat ini adalah taqiyah yang
hanya ditujukan untuk orang-orang kafir, bukan selain mereka." (6)
Sa'id
bin Jubair juga berkata, "Di dalam Islam sebenarnya tidak ada taqiyah,
tapi taqiyah hanya untuk orang-orang yang sedang berperang." (7)
Ar-Razi
juga berkata, "Taqiyah dilakukan ketika seseorang sedang berada di
wilayah kaum kafir, sedangkan dia kawatir akan keselamatan diri dan
haratanya, maka dia boleh melakukan tipu daya terhadap orang kafir itu
lewat perkataannya, dengan tidak menampakkan permusuhan kepada mereka
dengan lisannya. Bahkan, dia juga boleh mengucapkan kata-kata cinta
kepada mereka untuk menipu saja, tetapi dengan syarat dia harus tetapi
menyelisihi perkataan itu dalam hatinya, dengan menolak apa yang telah
ia katakan." (8)
Taqiyah
Syiah: Adapun taqiyahnya orang syiah, target utamanya adalah Ahlus
Sunnah wal Jama'ah, bahkan ulama mereka ada yang menyusun buku dengan
membuat bab khusus berjudul "Bab Wajibnya Taqiyah Terhadap Ahlus
Sunnah". (9)
Ada
juga sebuah perkataan yang mereka nisbatkan kepada Abu Abdillah, yaitu
"Barang siapa sholat bersama mereka (Ahlus Sunnah) pada shaf pertama,
maka seakan-akan dia sholat bersama Nabi Muhammad di shaf pertama juga."
(10)
Salah
satu sebab mengapa kaum Syiah sampai berkeyakinan seperti itu adalah,
karena mereka menganggap Ahlus Sunnah itu sama kedudukannya dengan orang
kafir, karena Ahlus Sunnah tidak beriman kepada Dua Belas Imam milik
Syiah.
Seorang
ulama Syiah, Ibnu Babuwaih berkata, "Dan akidah kita terhadap siapa
saja yang mengingkari imamahnya Amirul Mukminin dan para imam
setelahnya, maka kedudukan orang tersebut seperti orang yang mengingkari
kenabian para nabi. Dan akidah kita terhadap orang yang mengakui
imamahnya Amirul Mukminin tetapi mengingkari salah satu dari imam-imam
kita, maka kedudukannya seperti orang yang mengakui kenabian para nabi,
tetapi mengingkari kenabian Nabi Muhammad." (11)
At-Thusi juga mengatakan, "Siapa yang menolak imamah maka dia kafir, sebagaimana kafirnya orang yang menolak kenabian." (12)
Perbedaan Ketiga: Taqiyah syar'iyah merupakan suatu rukhsoh (keringanan) dan bukan azimah (hukum yang tetap dari awalnya)
Taqiyah
Syar'iyah: merupakan syariat dalam islam yang diadakan sebagai suatu
rukhsah bagi umat Islam dalam suatu keadaan yang mendesak. Dan uamat
Islam dibolehkan tidak melakukan suatu rukhsoh (termasuk taqiyah
sar'iyah) dan lebih memilih melakukan azimah, bahkan para ulama
mengatakan barang siapa yang tetap memilih melakukan azimah dari pada
mengambil rukhsoh ketika dalam keadaan darurat, maka itu lebih baik.
Ibnu
Bathol berkata, "Dan telah sepakat bahwa barang siapa yang dipaksa
untuk kafir, tetapi dia memilih terbunuh dalam Islamnya, maka
sesungguhnya hal itu mendapat pahala yang agung di sisi Allah." (13)
Ar-Razi
berkata, "Jika saja seseorang tetap menyuarakan keimanan dan kebenaran
pada saat dibolehkan baginya bertaqiyah, maka itu lebih baik." (14)
Pengikut
Imam Abu Hanifah juga mengatakan bahwa taqiyah merupakan rukhsoh dari
Allah ta'ala, dan meninggalkannya adalah lebih utama. Maka, barang siapa
yang dipaksa untuk kafir tapi dia tetap tegar dalam keimanan sampai dia
dibunuh, maka itu lebih baik dari pada orang yang bertaqiyah. Dan
seluruh masalah yang berkaitan dengan kemuliaan Islam, memegang teguh
perjuangan walau sampai terbunuh adalah lebih baik dari pada mengambil
rukhsoh." (15)
Begitu
juga kisah Imam Ahmad ketika sedang diuji dengan fitnah Al-Qur'an itu
makhluk, ketika itu beliau ditanya seseorang, "Jika kamu dihunus pedang,
apakah kamu akan menjawab (bahwa Al-Qur'an itu makhluk), ? beliau
menjawab, "Tidak!", seraya berkata, "Jika seorang alim menjawab seperti
itu walau dengan taqiyah, niscaya orang jahil akan semakin jahil (salah
persepsi), jika begitu, kapan kebenaran akan tegak?" (16)
Taqiyah
Syiah: Dalam keyakinan Syiah, taqiyah bukan sebuah rukhsoh tetapi
azimah yang harus dilakukan, dan tidak ada pilihan untuk meninggalkannya
walaupun dalam keadaan terpaksa atau tidak. Ibnu Babuwaih mengatakan
dari imam-imam mereka, "Taqiyah itu wajib, tidak boleh ditinggalkan
sampai keluarnya sang Qoim, maka barang siapa yang meninggalkannya
sebelum keluarnya Qaim, maka dia telah keluar dari agama Allah dan agama
Imamiyah, serta telah menyelisihi Allah, Rasul dan para Imam." (17)
Perbedaan Keempat: Taqiyah Syar'iyah dilakukan dalam keadaan mendesak atau lemah.
Taqiyah
Syar'iyah: Taqiyah syar'iyah pada dasarnya dilakukan dalam keadaan
mendesak dan terpaksa, bukan dalam semua keadaan, terlebih lagi dalam
keadaan lapang dan kuat.
Mu'adz
bin Jabal dan Mujahid berkata, "Taqiyah pada mulanya digunakan ketika
awal kemunculan Islam sebelum kaum Muslimin memiliki kekuatan, akan
tetapi pada hari ini Allah telah memuliakan Islam dan menguatkan kaum
Muslimin, sehingga sudah seharusnya orang Islam tidak bertaqiyah lagi di
hadapan para musuh." (18)
Taqiyah
Syiah: Sedangkan taqiyah Syiah dilakukan oleh pemeluknya dalam setiap
keadaan, mereka tidak membedakan antara keadaan mendesak atau lapang.
Mereka
menukil perkataan As-Shadiq (versi mereka) yang berkata, "Bukan dari
golongan kita siapa saja yang tidak menjadikan taqiyah sebagai syi'ar
dan tamengnya dari orang yang tidak membahayakannya." (19)
Perbedaan Kelima: Taqiyah syar'iyah hanya diucapkan lewat lisan, bukan dilakukan dengan perbuatan.
Taqiyah
Syari'ah: Taqiyah yang disyari'atkan dalam Islam adalah taqiyah dalam
bentuk ucapan lisan saja tanpa dilakukan dalam bentuk perbuatan. Ibnu
Abbas radhiallahu anhuma berkata, "Taqiyah bukanlah dengan amal, tetapi
taqiyah hanya dengan perkataan lisan."
Begitu
juga perkataan Abul 'Aliyah, Abu Asy-Sya'tsa, Ad-Dhahak dan Robi' bin
Anas yang mana mereka mengaitkan dengan firman Allah,
مَن
كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَـكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْراً
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan
dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya
azab yang besar." (An-Nahl: 106). (20)
Dalam
sebuah riwayat, Ibnu Abbas menafsiri firman Allah ta'ala yang berbunyi
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً "kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka" (Al-Imron: 28)
beliau berkata, "Maksudnya at-tuqooh (taqiyah) adalah perkataan dengan
lisan tetapi hati tetap dalam keadaan beriman." (21)
Menanggapi
masalah jika ada seseorang yang dikatakan kepadanya, "Sujudlah kepada
berhala ini, jika tidak kami akan membunuhmu!" Hasan berkata, "Jika
berhala itu menghadap kiblat, maka dia boleh bersujud pada berhala itu,
tetapi niatnya adalah sujud pada Allah, akan tetapi jika berhalanya
bukan pada arah kiblat, maka janganlah dia mau sujud walaupun harus
dibunuh."
Akan
tetapi Al-Qadhi dalam menyikapi masalah ini mengatakan, "Dia tidak
dilarang bersujud asal niatnya tetap untuk Allah, walaupun tidak
mengarah kiblat, karena Allah berfirman, "maka kemanapun kamu menghadap
di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115). Begitu juga syariat Islam
membolehkan bagi musafir untuk menghadap arah selain kiblat ketika
shalat. (22)
Taqiyah
Syiah: Adapun kelompok Syiah melakukan taqiyah dengan lisan dan
perbuatan sekaligus, atau dengan cara apapun yang bisa membuat mereka
melakukan taqiyah, bahkan taqiyah merupakan salah satu prinsip ibadah
mereka, dimana mereka menyatakan bahwa 9 dari 10 agama mereka adalah
taqiyah.
Perbedaan Keenam: Taqiyah syar'iyah tidak dijadikan sebagai tabiat seorang Muslim dalam segala keadaan.
Taqiyah
Syar'iyah: Taqiyah syar'iyah merupakan suatu rukhsoh, sehingga tidak
dibolehkan bagi umat Islam terus-terusan melakukannya dalam semua
keadaan. Dr. Al-Qifari mengatakan, "Taqiyah dalam Islam yang merupakan
agama jihad dan dakwah, bukan merupakan prinsip utama yang melandasi
akhlak seorang Muslim, dan bukan merupakan sifat dari masyarakat Islami,
tetapi taqiyah sebenarnya hanya perilaku individu yang sifatnya
sementara, tergantung dengan marabahaya yang menimpanya yang membuatnya
tidak bisa menghindar dari bahaya itu serta dalam keadaan terpaksa."
(23)
Taqiyah
Syiah: Dalam keyakinan Syiah taqiyah merupakan suatu keharusan bagi
setiap orang Syiah. Mereka harus selalu bertaqiyah dan melakukannya
dalam setiap keadaan. Dari situ jelaslah bahwa selalu ada kedustaan di
tubuh pengikut kelompok Imamiyah Itsna 'Asyriyah ini, bahkan Ahlus
Sunnah masih mentolelir riwayat dari ahli bid'ah secara umum kecuali
riwayat dari orang Syiah, karena Syiah sudah terlalu banyak berdusta.
Imam
Malik ketika ditanya tentang Rofidhoh beliau berkata, "Jangan kalian
berbicara pada mereka dan jangan meriwayatkan dari mereka, karena mereka
adalah pendusta." (24)
Imam
Syafi'i juga mengatakan tentang mereka, "Aku tidak mendapati seseorang
yang lebih terlihat jelas kedustaannya dibanding orang Rofidhoh." (25)
Syuraik
Al-Qadhi juga berkata, "Aku mengambil ilmu dari siapapun yang aku temui
kecuali orang Rofidhoh, karena mereka gemar memalsukan hadits sekaligus
menjadikannya pedoman agama."
Imam
Ibnu Taimiyah berkata, "Seluruh ahlul ilmi telah bersepakat perihal
periwayatan dan isnad bahwa Rofidhoh adalah kelompok yang paling gemar
berdusta, kedustaan mereka sudah sejak dulu, oleh karenanya para Imam
agama Islam sejak dulu sudah mengetahui ciri khas mereka dalam berdusta.
(Minhajus Sunnah An-Nabawiyah/Ibnu Taimiyyah: 1/26)
Dalam
penjelasan Akhirnya beliau mengatakan, "Sedangkan Rofidhoh asli bid'ah
mereka adalah zindik sekaligus atheis, karena mereka selalu sengaja
berdusta dan mereka mengakui itu, sebagaimana mereka berkata, 'agama
kita adalah taqiyah, yaitu salah seorang dari kalian berkata dengan
lisannya menyelisihi apa yang disimpan dalam hati'. Hal ini merupakan
bentuk dusta dan nifaq." (28)
Perbedaan Ketujuh: Taqiyah syar'iyah bukanlah sebagai sarana untuk memuliakan dienul Islam.
Taqiyah
Syar'iyah: dalam ajaran Islam, taqiyah yang benar bukan merupakan suatu
perantara untuk mencapai kemuliaan Islam, bahkan untuk menunjukkan
kemuliaan Islam adalah dengan menampakkan ke-Islaman kita kepada para
musuh dan tidak menyembunyikannya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan
Allah ta'ala,
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
"Dia-lah
yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar
dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai
saksi." (Al-Fath: 28)
Taqiyah
Syiah: Dalam ajaran Syiah taqiyah justru menjadi sarana utama yang
mereka yakini dapat memuliakan agama mereka. Agama Syiah menurut mereka
tidak akan mulia jika tidak disembunyikan, sebagaimana Abu Abdilla dalam
riwayat mereka mengatakan, "Sesungguhnya kalian berada di agama yang
jika kalian menyembunyikannya niscaya Allah akan memuliakannya, tetapi
barang siapa yang menampakkannya niscaya Allah akan menghinakannya."
(29)
Sebagaimana
penjelasan di atas bahwa taqiyah syar'iyah sangat berbeda dengan
taqiyah yang diyakini Syi'ah. Taqiyah syar'iyah disyari'atkan pada
saat-saat genting dan terpaksa, taqiyah syar'iyah juga dilakukan kepada
orang-orang kafir bukan untuk sesama mukmin, sebagaimana konteks ayat
tentang taqiyah dalam surat Al-Imran, taqiyah syar'iyah juga bukan
merupakan ushuluddin (pokok agamama), dan yang tidak melakukannya tidak
dihukumi kufur atau murtad.
Sedangkan
taqiyah Syi'ah mereka yakini sebagai ushuluddin (pokok agama) yang jika
ditinggalkan maka dapat menyebabkan kekufuran, orang Syi'ah juga
melakukan taqiyah dalam seluruh keadaan, tidak membedakan mendesak atau
tidak, bahaya atau aman, dan mereka melakukan taqiyah terutama mereka
tujukan untuk Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Kesimpulan:
Pada
dasarnya umat Islam dilarang untuk menyerupakan ajaran yang murni dari
Islam dengan ajaran yang dibuat-buat oleh orang Zindiq. Setelah kita
mengetahui hakikat taqiyah agama Syi'ah, kita dapat menyimpulkan bahwa
taqiyah Syi'ah tidak ada bedanya dengan dusta atau kemunafikan, bahkan
taqiyah Syi'ah itulah inti dari dusta dan kemunafikan.
Dan
akhrinya, kita selalu memohon kepada Allah ta'ala Yang Maha Tinggi lagi
Maha Menentukan, untuk selalu melindungi kita dari ketergelinciran pada
keburukan dan mengokohkan kita agar senantiasa selalu berada di gari
Al-Qur'an dan As-Sunnah. Alhamdulillahi Rabbil 'Alammin..
*Beliau merupakan anggota dari Rabithah Ulama Syari'ah Majelis Ta'awun
(1) Lihat: Tafsir Al-Baghowi 2/26.
(2) Lihat: Ushul Al-Kafi, Al-Kullaini 2/217, Bihar Al-Anwar, Al-Majlisi 75/423.
(3) Lihat: Ushul Al-Kafi, Al-Kullaini, Bab Taqiyyah 2/217, 219.
(4) Lihat: Man Laa Yahdzuruhu Al-Faqih, Ibnu Babuwaih 2/80, Bihar Al-Anwar, Al-Majlisi 75/423, 414.
(5) Lihat: Ikmal Ad-Diin, Ibnu Babuwaih 355, Bihar Al-Anwar, Al-Majlisi 75/412.
(6) Lihat: Tafsir At-Thobari 6/316.
(7) Lihat: Tafsir Al-Baghowi 2/26.
(8) Lihat: Tafsir Ar-Razi 4/170.
(9) Lihat: Wasail As-Syi'ah, Al-Hurr Al-'Amali 11/470.
(10) Lihat: Bihar Al-Anwar, Bab Taqiyyah 75/421.
(11) Lihat: Al-I'tiqodaat, Ibnu Babuwaih 111.
(12) Lihat: Talkhis As-Syafi, At-Thusi 4/131.
(13) Lihat: Fathul Bari 12/317.
(14) Lihat: Tafsir Ar-Razi 4/170.
(15) Lihat: Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, Abi Hayyan 3/191.
(16) Lihat: Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi 1/372.
(17) Lihat di kitabnya Al-I'tiqodaat 114, 115
(18) Lihat: Tafsir Al-Baghowi 2/26.
(19) Lihat: Wasail As-Syi'ah: 11/466, Bihar Al-Anwar 75/395.
(20) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 2/30.
(21) Lihat: Ad-Durrul Mantsur, As-Suyuti 2/176.
(22) Lihat: Al-Muharror Al-Wajiz, Ibnu Atiyyah 1/400.
(23) Lihat: Ushul Madzhabi As-Syi'ah, Al-Qifari 2/981.
(24) Lihat: Lisanul Mizan, Ibnu Hajar 1/10.
(25) Lihat: Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro 10/208.
(26) Lihat: Mizanul I'tidal fie Naqdi Ar-Rijal, Adz-Dzahabi 1/208.
(27) Lihat: Lisanul Mizan, Adz-Dzahabi 1/10, Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyyah 1/26.
(28) Lihat: Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, Ibnu Taimiyyah 1/30.
(29) Lihat: Ushul Al-Kafi 1/222.
(Artikel ini diterjemahkan dari tulisan Dr. Basim Amir di situs saaid.net dengan sedikit editing)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar